PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP PERKEMBANGAN MENTAL ANAK
Secara garis besar, manusia, sejak usia kanak
kanak hingga dewasa, selalu berada dalam keadaan mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Menurut penelitian pakar
neurologi otak, manusia akan senantiasa dibentuk oleh lingkungan atau
faktor eksternal dari luar tubuhnya dalam setiap detik kehidupannya,
selama ia masih dapat bernapas.
Pengaruh lingkungan pada anak-anak sangat luar biasa karena pada masa kanak-kanak dikenal “the golden age"
atau masa keemasan di mana penyerapan hal-hal yang membentuk pola di
dalam otak anak berlangsung sangat cepat dan mudah. Di dalam otak anak
terdapat milyaran sel syaraf, dan pada sel-sel syaraf tersebut akan
terbentuk pola-pola mental dan karakter. Contohnya seorang anak yang
memiliki pengalaman disuntik dengan sedikit dipaksa. Kejadian tersebut
meninggalkan rasa sakit sehingga terekam dan meninggalkan pola
asosiasi yang kuat pada anak, bahwa setiap orang yang berpakaian
putih-putih identik dengan suntikan. Akibatnya dengan hanya melihat
orang berpakaian putih-putih seperti dokter, suster atau orang lain
yang mungkin tidak ada hubungannya dengan suntikan dia sudah merasa
ketakutan dan histeris. Sayangnya, orang tua sering mengabaikan
hal-hal yang terlihat sepele semacam ini.
Contoh lain
pengaruh lingkungan pada anak bisa dilihat pada cerita Tarzan.
Tarzan begitu lihai berjalan, bercakap dan bertingkah laku seperti kera dan binatang-binatang hutan lainnya. Hal ini karena setiap waktu dalam sebuah kurun waktu tertentu ia senantiasa mendapatkan rangsangan-rangsangan dari lingkungan sekitarnya mengenai cara hidup di hutan. Ternyata saat ia dewasa dan bertemu manusia, baru ia sadari bahwa sebenarnya bukan seperti itu seharusnya ia berjalan, bercakap, dan bertingkah laku. Pada orang dewasa, perulangan kejadian juga bisa menyebabkan terbentuknya pola perilaku. Misalnya orang yang sebelumnya tidak pernah menggosip, ketika ia mulai menggosip hal ini akan membentuk pola menggosip di otaknya. Semakin sering ia mencoba menggosip, pola yang terbentuk akan semakin kuat dan hidup. Menurut dr. Taufik Bachtiar, pakar neurologi otak Indonesia, ketika kebiasaan sudah menjadi terlalu sering, maka pola perkembangan otak akan menjadi hidup seolah-olah dia perlu berkembang, menjadi besar dan mencari sambungan yang lebih besar lagi. Pada akhirnya otak akan selalu berusaha mencari makanan untuk pola yang terbentuk ini. Orang yang terbiasa menggosip akan menjadi pusing ketika lama tidak menggosip. Pusing yang ia rasakan merupakan sinyal yang dikirim otak untuk mencari makanan, dalam hal ini menggosip.
Tarzan begitu lihai berjalan, bercakap dan bertingkah laku seperti kera dan binatang-binatang hutan lainnya. Hal ini karena setiap waktu dalam sebuah kurun waktu tertentu ia senantiasa mendapatkan rangsangan-rangsangan dari lingkungan sekitarnya mengenai cara hidup di hutan. Ternyata saat ia dewasa dan bertemu manusia, baru ia sadari bahwa sebenarnya bukan seperti itu seharusnya ia berjalan, bercakap, dan bertingkah laku. Pada orang dewasa, perulangan kejadian juga bisa menyebabkan terbentuknya pola perilaku. Misalnya orang yang sebelumnya tidak pernah menggosip, ketika ia mulai menggosip hal ini akan membentuk pola menggosip di otaknya. Semakin sering ia mencoba menggosip, pola yang terbentuk akan semakin kuat dan hidup. Menurut dr. Taufik Bachtiar, pakar neurologi otak Indonesia, ketika kebiasaan sudah menjadi terlalu sering, maka pola perkembangan otak akan menjadi hidup seolah-olah dia perlu berkembang, menjadi besar dan mencari sambungan yang lebih besar lagi. Pada akhirnya otak akan selalu berusaha mencari makanan untuk pola yang terbentuk ini. Orang yang terbiasa menggosip akan menjadi pusing ketika lama tidak menggosip. Pusing yang ia rasakan merupakan sinyal yang dikirim otak untuk mencari makanan, dalam hal ini menggosip.
Perulangan kejadian seperti ini dapat pula menjadi sumber terbentuknya trauma.
Misalnya pada si anak yang takut disuntik, ketika setiap kali
disuntik ia selalu dipaksa maka bisa jadi dia menjadi trauma dengan
suntikan. Hal penting yang perlu diingat oleh orang tua adalah jangan
menganggap sepele setiap kejadian yang terjadi pada anak. Karena
banyak trauma yang terjadi pada orang dewasa ternyata disebabkan oleh
kejadian saat ia masih kecil. Semua hal yang terekam oleh hati dan panca
indera kita, apa yang kita ingat, lihat, dengar dan rasakan
sebenarnya tidak pernah hilang dari otak kita. Saat kita mengalami
trauma dan kemudian menjalani terapi untuk menghilangkannya, pada
dasarnya yang dihilangkan adalah intensitas rasa takutnya. Namun
ingatan kita akan hal yang pernah terjadi akan tetap tinggal di dalam
mental dan jiwa kita.
Ada kasus seorang ibu yang sering
merasa kurang percaya diri. Rasa kurang percaya diri ini pada akhirnya
sering menimbulkan masalah dalam pekerjaannya. Pak Purwanto,
narasumber kita kali ini, kemudian berusaha menggali penyebab dari
masalah ini. Singkat cerita, ditemukanlah sumbernya, sebuah kejadian
di masa lalu ibu tersebut. Pada saat SD dan SMP beliau selalu
berprestasi dan membanggakan kedua orang tuanya. Tiba saatnya masuk
SMA, orang tuanya memaksa beliau untuk masuk sebuah SMA elite pilihan
orang tuanya. Sang ibu yang mendapati dirinya berasal dari keluarga
biasa-biasa saja dihadapkan pada kondisi teman-temannya yang berbeda,
misalnya pergi ke sekolah selalu diantar mobil pribadi. Hal ini
menyebabkan beliau merasa minder yang pada akhirnya menghambat prestasi
beliau di SMA dan universitas.
Selain dipengaruhi, mental anak juga bisa mempengaruhi lingkungannya
(orang tua, suasana dan kondisi rumah). Kedua hal ini bisa
dianalogikan seperti ayam dan telurnya, tidak jelas yang mana muncul
lebih dulu dan saling mempengaruhi satu sama lain. Contohnya anak yang
takut disuntik tadi. Trauma si anak bisa mempengaruhi sikap kedua
orang tuanya. Mereka misalnya menjadi over protective terhadap
si anak. Selanjutnya, sikap over protective ini pun akan balik
mempengaruhi anak tersebut menjadi anak yang tidak mandiri. Yang
paling baik dalam situasi seperti ini adalah orang tua mencoba
melakukan penyelarasan dan membangun komunikasi yang baik dengan anak. Untuk
mendapatkan perkembangan mental yang baik, kita perlu mengetahui
beberapa hal penting dalam pembentukan mental. Pertama, kita perlu
mengetahui faktor-faktor pembentuk pola keyakinan manusia, dari
anak-anak hingga dewasa.
1. Lingkungan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lingkungan dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem mental manusia.
2. Pengetahuan,
terutama pengetahuan yang diberikan saat golden age, masa dimana anak
sangat cepat sekali meniru apa yang ia lihat, dengar dan rasakan.
3. Pengalaman-pengalaman yg dialami oleh anak-anak kita. Apa yang mereka alami saat anak-anak akan membekas sampai mereka dewasa.
4. Tantangan atau rangsangan yang diberikan kepada anak untuk memancing kemampuan dan rasa percaya dirinya.
5. Mindset and mentality programming.
Ketika manusia mengalami trauma, grogi, phobia, gelisah, ragu-ragu
dan berbagai kecemasan lainnya sebenarnya mereka sedang melihat
bayangan mentalnya sendiri. Mereka seperti sedang melihat film
horrornya sendiri. Bila hal ini terjadi berulang-ulang akan kembali
membentuk mentalnya. Mindset dan mentality programming dilakukan untuk membangun bayangan mental yang baru.
Hal
penting lain menyangkut sistem keyakinan yang terbentuk adalah sistem
indera manusia. Sistem indera manusia selalu bekerja menerima
rangsangan. Apa pun yang kita lihat, dengar dan rasakan akan selalu
direkam oleh otak kita. Ada 2 macam pola perekaman rangsangan oleh
anak.
1. Anak merekam secara sadar,
biasanya didasari oleh rasa ketertarikan. Misalnya ketika anak
menonton televisi, ia menyukai film kartun tertentu, maka ia akan
berusaha melihat, mendengar, merasakan film tersebut dan pada akhirnya
menceritakan kembali atau menirukan gerakan-gerakan dari film yang ia
tonton.
2. Anak merekam secara tidak sadar.
Pada awalnya anak tidak berniat melihat, mendengar atau merasakan
sesuatu. Akan tetapi karena hal tersebut terjadi berulang-ulang maka
kejadian tersebut dapat terekam dalam mentalnya. Sebagai contoh, anak
yang sedang bermain sendiri di kamar namun mendengar suara orang tuanya
yang sedang bertengkar. Dalam kondisi seperti ini, anak terlihat tetap
aktif bermain namun tanpa disadari merekam suasana pertengkaran kedua
orang tuanya. Contoh lain adalah anak yang tertidur di depan
televisi. Hal ini sangat berbahaya karena suara-suara dari televisi
akan tetap dicerna dan ditangkap oleh telinga yang kemudian akan
meneruskan sinyalnya ke otak kita. Pada kejadian ini, gelombang otak
tidak ikut tidur namun terus bekerja merekam suara-suara yang
ditangkap indera pendengaran dan memasukkan ke dalam mentalnya.
Pola
perekaman yang kedua kadang kala lebih berbahaya dari pola perekaman
yang pertama karena sering tidak disadari oleh orang tua. Yang bisa
dilakukan orang tua untuk mengantasi hal ini adalah dengan
1. Mempersiapkan lingkungan
Salah
satu contoh penyiapan lingkungan adalah dengan meyetel VCD pendidikan
anak, dongeng atau murattal. Biarkan anak tidur dengan mendengarkan
suara-suara atau kisah-kisah yang baik. Kisah-kisah tersebut biasanya
akan terbawa mimpi oleh sang anak dan merupakan sarana terapi yang
cukup baik.
2. Melakukan kalibrasi atau pengecekan dengan cara berdialog dan bercerita
Misalnya
kita ingin anak dapat bangun pagi dan shalat subuh berjamaah di
masjid. Ajak anak berdialog sebentar (3-5 menit) sebelum tidur untuk
menanamkan motivasi dan keyakinan diri si anak. Contohnya dengan
mengatakan: "Fulan anak yang sholeh ya, anak laki-laki yang sholeh
biasanya shalat subuh ke masjid bersama ayah. Jadi besok Fulan shalat
subuh bersama ayah yah. Besok ketika dibangunkan langsung bersemangat
yah."
Selanjutnya, sistem otak manusia tidak hanya menerima rangsangan tetapi juga memancarkan rangsangan.
Ambil contoh membangunkan anak untuk sekolah. Ketika orang tua
memberikan rangsangan yang kurang baik kepada anak, maka anak juga
cenderung memberi respon yang tidak baik. Misalnya ketika ayah
membangunkan anak dengan terburu-buru, dengan sedikit rasa kesal, maka
yang akan terjadi adalah anak yang susah dan marah ketika
dibangunkan. Yang biasa dilakukan orang tua dalam kondisi seperti ini
adalah dengan teknik "pemaksaan" terhadap anak. "Jika kamu tidak
bangun nanti ayah tidak beri uang jajan, jika kamu tidak bangun kamu
tidak usah sekolah".
Kita harus ingat otak dan mental
kita senantiasa memancarkan energi. Supaya anak hanya menerima energi
yang positif dari kita, kita harus berusaha mematahkan atau
menyelaraskan energi negatif yang sudah terlanjur keluar. Misalnya
dalam hal anak terlanjur kesal dibangunkan. Sejenak tarik napas
dalam-dalam dengan tujuan mematahkan pola energi negatif tadi.
Kemudian ajak anak berdialog atau melakukan aktivitas lain yang
menyenangkan yang tidak ada hubungannya dengan trauma yang ia rasakan.
Dalam hal ini, jangan bicarakan tentang mandi, atau tentang sekolah.
Ajak anak tertawa dan bercanda misalnya dengan menggelitiki ia atau
melakukan perang bantal. Selanjutnya, saat anak sudah merasa senang,
langsung angkat ke kamar mandi dan katakan "yuk sekarang ke kamar
mandi" tanpa harus ditanya lagi "mau mandi tidak?" atau "mau sekolah
tidak?". Teknik seperti ini disebut teknik pematahan pola.
Selain
itu, kita harus menyiapkan diri melakukan penyelarasan terhadap dunia
anak-anak. Sesuai fitrahnya, manusia merasa senang dekat dengan siapa
saja yang mirip dengan dirinya, baik itu anak-anak, remaja atau pun
dewasa. Sebagai orang tua, kita tidak bisa memaksa anak-anak masuk ke
dunia orang dewasa. Sebaliknya, kita harus berusaha masuk ke dalam
dunia anak-anak, ke dalam bahasa, gaya, perasaan, perilaku. Ketika
kita dapat masuk ke dalam dunia mereka, insya Allah anak-anak akan
merasa nyaman dengan kita. Dan ketika mereka sudah merasa nyaman
dengan kita, insya Allah semua motivasi dan masukan apa pun yang ingin
kita berikan kepada anak-anak akan dapat diterima dengan baik.
Cukup Menarik.....
BalasHapusTrims pak..
BalasHapus